Affandi
Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei
1990) adalah seorang pelukis
yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia,
mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat
gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada
tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika
Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari
dua ribu lukisan.
Biografi
Affandi dilahirkan di Cirebon
pada tahun 1907,
putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug,
Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki
pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh
pendidikan HIS,
MULO, dan selanjutnya tamat
dari AMS,
termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental
mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan
namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan
Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang
nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika
Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan
pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame
bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti
karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu
kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra
Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang
dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang
cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda
dengan Persatuan
Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah
kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung
Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di
Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno,
Drs. Mohammad Hatta,
Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin
Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam
Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai
penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil
bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain
"Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno,
Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.
Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno
itu menggambarkan seseorang yang dirantai tapi rantainya sudah putus. Yang
dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang
dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari
penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam
memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah
menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat
beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan,
India, suatu akademi yang
didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di
India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan
pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya
digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima
puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante.
Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam
sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya
katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi,
Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM)
yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang
perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu
itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau
hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun
1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia
bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan
sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS
sedang mengagresi Vietnam
cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan
imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi
mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun,
pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang
mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat
perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak
Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan
Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara,
Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang
kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang
tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih
yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau
Werkudara, Kresna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek
namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya
yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos
dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan
prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua
Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait
Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di
museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
Affandi dan melukis
Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari
2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia,
baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis
dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of
Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan
langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya,
bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan
tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor
Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai
seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga
seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh
orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi
pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu
kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan
teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan
corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi
balik bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri
dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca.
Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa
dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai
pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan
bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja
secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi
sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang
dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa
dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak
bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa
lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang
lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut
sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya
kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di
atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti
melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap
menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari
hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.
Museum Affandi
Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi
oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir
Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih
berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat
tinggalnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum
Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi.
Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif
yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga
tidak dijual.
Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman
Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki
Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun
galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang
lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999.
Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari 99),
"Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak
Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan
KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini
Yusuf, serta Juki Affandi.
Affandi di mata dunia
Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar
Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti Raden Saleh,
Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan
karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan
julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru
Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang
menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italia dia
telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri
perjalanan hidup dari pria yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia
seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian
dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of
Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya
menjadi anggota Akademi Hak-Hak Azasi Manusia.
Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak
penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya, penghargaan "Bintang
Jasa Utama" yang dianugrahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun
1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI
(Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil
Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang
berjudul "Kepada Pelukis Affandi".
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya
kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai
tempat. Di negara India, dia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai
kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia.
Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris, dan Roma. Begitu juga di
negara-negara benua Amerika seperti di Brasil, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat.
Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia.
Bahkan kurator
terkenal asal Magelang,
Oei Hong Djien, pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de
Janeiro.
Penghargaan dan lain-lain
- Agama: Islam
- Istri
1. Maryati
(istri pertama)
2. Rubiyem
(istri kedua)
- Anak
1. Kartika
Affandi
2. Juki
Affandi BSc
3. Rukmini
(adik tiri)
- Penghargaan
1. Piagam
Anugerah Seni, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969
2. Doktor
Honoris Causa dari University of Singapore, 1974
3. Dag
Hammarskjöld, International Peace Prize (Florence, Italia, 1997)
4. Bintang
Jasa Utama, tahun 1978
5. Julukan
Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia oleh Koran International Herald Tribune
6. Gelar
Grand Maestro di Florence, Italia
- Pameran
1. Museum
of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
2. East-West
Center (Honolulu, 1988)
3. Festival
of Indonesia (AS, 1990-1992)
4. Gate
Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
5. Singapore
Art Museum (1994)
6. Centre
for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
7. Indonesia-Japan
Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
8. ASEAN
Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
9. Pameran
keliling di berbagai kota di India.
10.
Pameran di Eropa al: London, Amsterdam,
Brussels, Paris, Roma
11.
Pameran di benua Amerika al: Brazilia,
Venezia, São Paulo, Amerika Serikat
12.
Pameran di Australia
- Buku tentang Affandi
1. Buku
kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag Hammarskjöld, 1976, 189 halaman. Ditulis
dalam empat bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan
Indonesia.
3. Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, Affandi 70 Tahun,
Dewan Kesenian Jakarta, 1978. Diterbitkan dalam
rangka memperingati ulang tahun ketujuh puluh.
4. Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku
tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari Budaya Jakarta, 1987, 222 halaman. Diterbitkan
dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi, dalam dua bahasa, yakni Bahasa
Inggris dan Indonesia.
Karya Lukisan Affandi

Judul : Borobudur Pagi Hari
Tahun : 1983
Ukuran : 150 cm x 200 cm
Media : Cat Minyak
“Borobudur Pagi Hari” merupakan salah satu karya Affandi yang terinspirasi oleh megahnya candi Borobudur dan lingkungan sekitar pada masa itu, saat Affandi melintas dan memperhatikan Borobudur di pagi hari.
Obyek matahari selalu menarik perhatian di beberapa karya beliau sebagai fokus pendukung utama. Warna – warna dingin dan suasana tenang mendominasi lukisan ini karena melukiskan suasana pagi hari yang cerah . Dan dilukisan ini Affandy lebih nenonjolkan obyek alam sebagai latar belakang. Perpaduan warna yang digunakan semakin menghidupkan lukisan tersebut karena warna yang digunakan padu antara warna satu dengan warna yang lain.
Dan dilukisan tersebut gambar candi Borobudur terlihat sangat jelas tanpa kita harus menganalisis makna lukisan tersebut. Dan bentuk mataharinya tidak menyerupai matahari tetapi itu semua malah membuat lukisan tersebut bagus karena menyatu dengan warna langit yang ada pada lukisan tersebut. warna hijua di lukisan tersebut menggambarkan pepohonan yang ada di situ. walaupun gambar pohon tersebut tidak jelas tetapi sangat bagus. warnyapun juga kontras dengan warna lainnya.

Judul : Para Pejuang
Tahun : 1972
Ukuran : 100 cm x 135 cm
Media : Cat Minyak
Lukisan affandi ini berjudul “Para Pejuang”
dilukis menggunakan cat minyak pada tahun 1972. Lukisan ini menggambarkan
mengenai semangat pahlawan – pahlawan Indonesia untuk meraih kemerdekaan
Indonesia dengan mengorbankan jiwa dan raga mereka untuk Indonesia. Lukisan ini
memiliki nilai dan makna historis yang tinggi, dimana karya ini terinspirasi
dari semangat baja para Pejuang Indonesia.
Warna-warna yang terang, serta keunikan goresan pada lukisan tersebut menjadi satu sebuah kombinasi sempurna dalam karya lukisan bernilai seni tinggi. Akan menjadi koleksi kebanggaan tak ternilai bagi siapapun yang mengkoleksi Karya Lukisan hebat ini. Dalam lukisan ini sangat terlihat perjuangan para pahlawan yang sangat semangat memperjuangkan Indonesia.
Dan dalam lukisan tersebut terlihat juga semangat para pahlawan yang sangat berkobar – kobar seperti api. Dan tidak lupa dalam lukisan tersebut adanya bambu runcing, bendera merah putih, serta ikat kepala sebagai ciri khas para pejuang bangsa Indonesia.
Warna-warna yang terang, serta keunikan goresan pada lukisan tersebut menjadi satu sebuah kombinasi sempurna dalam karya lukisan bernilai seni tinggi. Akan menjadi koleksi kebanggaan tak ternilai bagi siapapun yang mengkoleksi Karya Lukisan hebat ini. Dalam lukisan ini sangat terlihat perjuangan para pahlawan yang sangat semangat memperjuangkan Indonesia.
Dan dalam lukisan tersebut terlihat juga semangat para pahlawan yang sangat berkobar – kobar seperti api. Dan tidak lupa dalam lukisan tersebut adanya bambu runcing, bendera merah putih, serta ikat kepala sebagai ciri khas para pejuang bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar